SEBUAH CERPEN : ANAK ANAK PASAR
Anak-Anak Pasar
Oleh
: Adiatma Pradnyana
Pagi telah datang. Desiran angin
malam masih membekas, mengalun bagai simfoni klasik yang menyejukkan hati
hingga mampu membelai setiap jiwa dengan aura dinginnya. Gumpalan awan ungu
memenuhi angkasa raya, serasi dengan keadaan mentari yang masih enggan untuk
menampakkan diri, menciptakan perpaduan warna ekstotis yang membuat mata ingin
terus memandangnya . Suara kicau burung saling beradu diatas pohon mahoni,
membentuk rangkaian nada yang begitu abstrak untuk didengar.
Aku terbangun. Suara jam beker berdering
, mengalir layaknya gelombang suara ultrasonik yang secara refleks membuatku
tersadar. Aku menguap, berusaha membangkitkan semangat dan energi untuk bangkit
dari tarikan gaya gravitasi tempat tidur yang seakan menggodaku untuk kembali
terlelap dalam pelukannya. Kelopak mataku seakan memaksaku untuk terus terpejam
dan kembali bermain di alam mimpi. Tetapi, berkat bantuan sang air seluruh
hasrat itu hilang, meleleh, kemudian terlarut mengikuti alirannya.
Sebuah kalender kecil terpampang
dengan sangat anggun di dinding dapur. Pesonanya seakan menarik mataku untuk
melihatnya. Hari Minggu, hari yang memiliki aura cerah tersendiri bagi semua
orang. Hari yang merupakan sebuah anugerah yang sangat berarti bagi kaum
manusia. Aku tersenyum setelah melihat kalender kecil itu. Membayangkan hal-hal
menarik yang akan kulakukan pada hari ini, membayangkan apa rencana Tuhan untuk membuat hari
ini lebih berwarna dari sebelumnya.
Pagi masih terasa dingin. Perpaduan
suara gesekan antara jalan dan ban sepedaku terdengar begitu jelas ditengah
kesunyian, sesekali hanya suara deru mobil terdengar melewati jalanan, melaju
dengan segala keunggulannya. Susana pagi sedikit berubah dari sebelumnya. Awan
telah berkamuflase menjadi berwarna kuning keputihan, mencoba manyatu dengan
sinar mentari yang begitu hangat. Embun pagi menetes melewati rusuk daun yang
begitu beragam, menciptakan nada teratur setiap detiknya.
Aku melihat beberapa orang berjalan
di trotoar. Pesona pagi yang menawan ditambah orang-orang terdekat yang
senantiasa melangkah bersamanya membuat raut wajah bahagia terlihat dengan
begitu jelas di wajah mereka. Alunan keharmonisan seakan menyatu pada diri
mereka masing-masing, membuat hati terasa damai. Terkadang, aku berpikir akan
nikmatnya menjadi manusia, bisa berbagi, menyayangi, dan membantu satu sama
lain. Aku tersenyum, membayangkan begitu luar biasa proses Tuhan dalam
penciptaanya. Tetapi, seiring berputarnya roda waktu, nikmat itu seakan memudar,
terkalahkan oleh sifat individualis yang semakin menjadi-jadi seiring
berkembangnya jaman.
Mataku tertuju pada dua orang anak
kembar yang saling berpegangan tangan. Salah satu dari mereka memiliki ukuran
yang kurang normal dibandingkan anak-anak seusianya. Senyuman mereka seakan
membawa jiwaku kembali ke masa lalu, masa dimana kenakalan, keluguan, dan
keceriaan masih tergabung menjadi satu. Masa dimana canda, tawa, suka, dan duka
menghiasi hari demi hari. Terkadang aku berpikir, menjadi anak kecil lebih baik
daripada menjadi dewasa. Pikiranku
melayang, ketika memikirkan masa lalu yang begitu menyenangkan, masa bermain
dimana manusia tak mengenal perbedaan, warna kulit, gender, agama, suku, ras, dan lain-lain. Terkadang hal itulah yang
dibutuhkan manusia dalam hidup, menjalin kebersamaan dan pergaulan tanpa
memandang berjuta-juta perbedaan yang seharusnya dihargai, bukan dihindari.
Hidungku menghirup sesuatu yang
janggal. Saraf penciumanku seakan meringis, meronta untuk melepaskan diri dari
jeratan bau yang menusuk mereka. Aku melihat begitu banyak sampah, berserakan
bak lumut yang senantiasa menempel di atas bebatuan. Terkadang batinku berkata,
apa sulitnya membuang sampah pada
tempatnya ? Begitu dahsyat keagungan Yang Maha Kuasa menciptakan lingkungan
untuk ditinggali mahluk hidup dan sekarang manusia malah merusaknya. Tak jarang
pula aku berpikir , manusia perlu belajar banyak kepada seekor kucing yang
mengubur kotorannya sehabis membuang hajat.
Tak terasa mentari telah berada
diatas kepala, memanggang helai demi helai rambut setiap orang yang berada
dibawahnya. Suasana jalanan kota yang padat, berpadu dengan panasnya terik
matahari membuat kelenjar keringatku memproduksi lebih banyak hingga nyaris
membuat wajahku kebanjiran. Perasaan lelah membuat pernafasanku melaju diatas
rata-rata, menghasilkan karbon dioksida yang seakan keluar setiap setengah
detik. Asap kendaraan , ditambah dengan jalanan yang padat membuat sel-sel
kulitku berteriak tak nyaman.
Aku menepi di sebuah kedai minuman
yang terletak di pinggiran pasar. Rasa dahaga seakan terus menyiksa
tenggorokan, hingga memaksa diri untuk meminum segelas air es yang terpajang di
kulkas kecil itu.
“Bu, air es satu !”
“Ini dik,”
Tanpa basa-basi aku langsung meminum
air es itu, seketika itu juga tengorokanku bersorak kegirangan, terlepas dari
siksaan dahaga yang terlanjur larut mengikuti alur air yang entah kemana
hilirnya.
Pandanganku tertuju pada dua orang
anak kecil di seberang jalan. Pakaian mereka lusuh, serasi dengan wajah mereka
yang kumal. Sepertinya mereka kakak beradik, terlihat dari usaha anak perempuan
yang lebih tua menggenggam tangan adik laki-lakinya. Sebuah keranjang besar
yang entah apa isinya mereka bawa dengan penuh kerja keras. Dua orang anak
kecil itu datang kearahku, datang dengan raut wajah penuh pengharapan.
“Kak, mau beli roti ?” Tanya si anak
perempuan .
Tiba-tiba hatiku merasa tersentuh,
mendengar keluguan dan kepolosan seorang anak kecil penjual roti. Seluruh
partikel tubuhku seakan mendorongku untuk membantu kedua anak itu. Perasaan iba
seketika muncul tiba-tiba tanpa diundang, membuat rasa empati turut serta
mengiringinya.
Aku pun membeli sejumlah roti, lalu
menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan kepada anak itu.
“Ini kak, kembaliannya” Anak
laki-laki itu menyodorkan uang lima belas ribu kepadaku.
“Eh... ga usah dik, ambil aja pakai
belanja,” Ucapku seraya
mengguratkan senyum kepada kedua anak itu.
“Tapi kak, satu roti harganya
seribu, kakak kan beli lima jadinya lima ribu.” Kata anak perempuan seraya
kembali menyodorkan uang lima belas ribu itu kepadaku.
Betapa takjub aku melihat tingkah
polos dua orang anak itu. Pikiranku kembali melayang, membayangkan betapa jujur
dan bersihnya pikiran kedua anak itu. Terkadang aku berpikir ketika melihat
begitu banyak kasus-kasus ketidakjujuran oknum-oknum dalam mengelola uang
negara, mereka mengambil tanpa mempedulikan dampak masyarakat miskin yang
bersusah payah mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk kehidupannya. Perilaku kedua anak ini tentu jauh lebih bermartabat
ketimbang mereka , para penipu negara yang duduk diatas tahta jabatan.
Setidaknya mereka perlu belajar dari tingkah anak-anak ini.
“ Adik, nama kalian siapa ?” Tanyaku
dengan penasaran
“Saya Luh, ini adik saya Made.” Kata
Luh dan adiknya dengan raut wajah malu-malu
“Oh.... sini duduk dulu, Luh sama
Made mau beli apa, kakak bayarin.” Entah pengaruh dari mana aku merasa perlu
menghargai hasil jerih payah kedua anak itu.
“ E... Ga usah kak, tadi udah
belanja” Kata Made
“Yee..... gapapa, kakak beliin es
teh ya” Aku langsung memesan dua gelas es teh, lalu menyodorkannya kepada kedua
anak itu. Mereka lalu mengucapkan terima kasih kepadaku.
“Luh sama Made sekolah dimana ?”
“Ga sekolah kak, gapunya uang buat
bayar.” Luh menjawab dengan mimik wajah sedih, sembari melihat adiknya Made
yang juga tertunduk lesu.
Aku merasa sangat tersentuh. Di usia
seperti mereka pendidikan merupakan salah satu hal terpenting yang mesti mereka
dapatkan.Ilmu, Pelajaran, sangatlah mereka butuhkan untuk kehidupan mereka
kelak. Terkadang aku memikirkan anak-anak kota yang hidup bergelimangan, tak
kekurangan apapun, namun tetap saja merasa malas untuk belajar dan menuntut
ilmu di sekolah. Semestinya mereka sadar bahwa ada pula yang masih mendambakan
pendidikan seperti anak-anak ini.
Tak
terasa setetes air mata mengalir mengikuti alur kelopak mataku.
“Orang tua adik dimana ?”
“Bapak udah meninggal, Ibu
sakit-sakitan di rumah, jadinya bibi buat roti terus kita jual buat biaya hidup.”
Luh kembali menjawab dengan wajah tertunduk lesu.
Butiran tetes air mata kembali
muncul dari balik mataku. Begitu tegarnya kedua anak ini menghadapi cobaan
hidup yang menghantam mereka bertubi-tubi. Begitu banyak peristiwa yang dapat
menjadi pelajaran untuk manusia dalam menjalani kehidupan. Tuhan menciptakan
manusia untuk hidup , dan hidup diciptakan untuk memberi pengalaman kepada
setiap orang yang menjalaninya. Ketegaran anak-anak ini membuat pandanganku
tentang hidup menjadi berubah seketika. Hidup yang mulanya kuanggap sebagai
kesenangan belaka, kini berubah menjadi tantangan yang harus dihadapi.
“ Kalau jualan biasanya setiap hari
itu laris atau enggak ?”
“Ya... kalau itu sih kadang laris
kadang enggak kak, biasanya sehari bisa ga dapet, tapi yang namanya jualan kan
ga selalu laris kak, jadi syukur aja.” Kali ini Made yang menjawab pertanyaan
itu.
Perkataan Made membuat perasaanku
menjadi iba. Di usia sedini itu, begitu besarnya hati mereka menerima segala
hasil jerih payahnya. Aku menjadi bersalah ketika mengingat tingkahku dulu yang
selalu tak puas ketika diberi sesuatu yang tak sesuai dengan keinginanku. Aku
merasa kedua anak ini terlampau jauh lebih baik ketimbang diriku yang mungkin
jarang untuk mensyukuri segala yang kudapat di kehidupan ini.
“Terus, uang hasil jualan roti ini
mau dipake apa ?”
“Buat beli obat untuk ibu.” Made
kembali menjawab pertanyaanku
Oh Tuhan, ternyata masih ada
anak-anak yang rela berjuang dan berkorban keras demi orang tua mereka. Kelopak
mataku tak bisa lagi menahan tetes air mata yang kurelakan jatuh membasahi
pipi. Rasa simpati seolah-olah memancar bak kembang api di dalam jiwaku,
membentuk percikan-percikan harapan bagi kedua anak ini. Pikiranku menerawang
ke jagat raya, membayangkan betapa mulianya hati anak-anak yang berjiwa luar
biasa ini.
“Udah dulu kak ya, saya mau lanjut
jualan, makasi kak, pamit” Luh langsung membawa keranjang roti itu, lalu
menggandeng tangan Made, dan keduanya tersenyum kepadaku.
“Tunggu dik....” Aku menghentikan
langkah mereka.
“Ini, uang untuk beliin ibu obat.”
Aku pun menyodorkan uang lima puluh ribuan kepada kedua anak itu.
“Makasih kak,” Luh menerimanya
dengan raut wajah terharu. Meskipun ia terlihat enggan, aku tahu ia sangat
membutuhkan uang.
Kedua anak itu pun pergi, menghilang
dibalik ramainya lalu lintas pasar. Aku menghela nafas. Berusaha menyadarkan
diri dari lamunanku sedari tadi. Aku bersyukur kepada Tuhan, telah menghadirkan
anak-anak yang sangat menginspirasi. Anak-anak yang mampu mengubah total
paradigmaku tentang hidup dengan segala
kepolosan dan keluguannya. Anak-anak yang begitu luar biasa. Anak-anak pasar.
Mengharukan
BalasHapus